Langkah pemerintah memangkas berbagai perizinan dan pajak di sektor properti dinilai sebagai angin segar bagi upaya pemenuhan rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Namun, pemerintah tetap harus mengawasi para pengembang agar kebijakan tersebut bisa menurunkan harga properti, bukan justru memperbesar keuntungan pengembang.
Fathan mengatakan saat ini harga properti di berbagai wilayah Indonesia terus melesat dan semakin tak terjangkau kalangan MBR. Kenaikan harga hunian semakin jauh di atas inflasi.
Sebelumnya, pada 24 Agustus 2016 lalu pemerintah telah merilis Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) ke XIII, yang di antaranya memangkas sejumlah aturan di sektor properti. Dalam peraturan pemerintah (PP) yang akan diterbitkan, pemerintah memangkas waktu perijinan yang memungkinan pembangunan rumah bagi MBR yang semula butuh 769-981 hari dapat dipercepat menjadi 44 hari.
PKE tersebut diluncurkan untuk mendukung realisasi Program Nasional Pembangunan Satu Juta Rumah yang merupakan bagian dari RPJMN 2014-2019.
Untuk itulah, Fathan mengingatkan bahwa data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga akhir tahun 2015 lalu mencatat bahwa masih ada 17,3 persen atau sekitar 11,8 juta rumah tangga yang tinggal di hunian non milik, baik itu sistem sewa, kontrak, rumah dinas atau tidak memiliki rumah sama sekali.
“Di sinilah pemerintah harus bisa memastikan bahwa aturan barunya dapat memudahkan rakyat kecil untuk tidak lagi kontrak atau sewa rumah di sepanjang hayatnya,” ujarnya.
Untuk memastikan kebijakan pemerintah di sektor properti ini dapat memangkas harga rumah, anggota Komisi V yang membawahi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat itu meminta pemerintah menindak tegas para pengembang nakal. Pasalnya, selama ini banyak pengembang tidak mau menjalankan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP), bahwa sesuai beleid ini setiap pengembang wajib membangun rumah mewah, rumah menengah, dan rumah sederhana dengan perbandingan 1:2:3.
“Selama ini UU seperti macan kertas yang tak bisa dilakukan. Untuk itu, kalau pelanggaran terhadap UU ini masih terjadi, pemerintah wajib menindak tegas pengembang yang melanggar,” kata Fathan.